Sabtu, 29 Desember 2012

Selamat Tahun Baru 2013

Selamat Tahun Baru 2013



Selamat tahun baru 2013, kami keluarga besar IPMA AL-HIDAYAH mengucapkan selamat tahun baru 2013.

Selasa, 13 November 2012

Hadirilah.................................

Pengajian Umum Dalam Rangka Haul& Birrul Walidain Alm Bp Sunardi

Berita Terkini

Pengajian Umum dalam rangka Haul & Birrul walidain Alm Bp. Sunardi

Di bulan november ini akan diadakan perhelatan besar yaitu pengajian umum dalam rangka memperingati haul & birrul walidain Alm Bp. Sunardi. Bp Sunardi adalah suami dari Ibu Siti 'Aisyah yang beralamat di Sonayan Jagalan Karangnongko Klaten ( Ayah dari Bp Asngari ).Tidak tanggung tanggung untuk acara ini insYALLAH akan dirawuhkan seorang ulama muda dari kalangan Habaib yang saat ini merupakan salah satu ulama rujukan masyarakat solo dan sekitarnya, beliau adalah Al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus. Beliau adalah pengasuh majlis ilmu & dzikir Ar-Raudhah Solo. Acara ini insYALLAH akan di gelar hari Minggu 25 November 2012.Bekerjasama dengan masyarakat RW 1 Sonayan dan IPMA Al-HIDAYAH, kami segenap Pengurus IPMA AL-HIDAYAH berkomitmen untuk mensukseskan acara ini.


Kamis, 12 November 2009

AL A'LAMAH AL HABIB ALI BIN MUHAMMAD AL HABSYI



Beliau adalah seorang ulama penyusun SIMTUD DUROR , yang mana isi kitab tersebut berupa manaqib tentang rosululloh SAW. SIMTUD DUROR selalu di baca oleh para jamaah majlis-majlis taklim dan pada peringatan maulid nabi SAW.Beliau dilahirkan di HADROH MAUT tepatnya di qosam pada hari jumat 24 syawal 1259H.Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.

Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.

Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.

Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya - di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.

Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.

Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.

Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.

Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).

Konon menurut cerita diwajah beliau tepatnya dibawah mata ada garis hitam, garis hitam tersebut adalah bekas linangan air mata yang selalu mengalir saat di mengenang dan mengingat baginda rosululloh SAW, karena rasa sangat cintanya kepada Rosululloh SAW beliau menyusun kitab SIMTUD DUROR dengan air mata darah…kerinduan yang begitu memuncak…YA alloh jadikan hamba-hambamu pecinta rosululloh ..agar bisa memperoleh syafaat dari Rosululloh SAW..amin

Dipetik dari: Untaian Mutiara - Terjemahan Simtud Duror oleh Hb Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi

Silsilah Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo

Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo dilahirkan di Afdeling Ledok (Wonosobo) pada tahun 1562 M. Menurut riwayat, beliau adalah keturunan ke 32 dari Baginda Rosulullah Muhammad saw.

Silsilah selengkapnya adalah sebagai berikut.

  1. Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban, ibni

  2. R. Singosuto, Mojotengah Garung Wonosobo, ibni

  3. R. Alim Marsitojoyo, ibni

  4. R. Martogati, Wonokromo Garung Wonosobo, ibni

  5. R. Dalem Agung / RA. Nyai Dalem Agung , Mojotengah Garung Wonosobo, ibni

  6. R.A Nyai / R. Kyai Dilem Bandok Wonokromo Garung Wonosobo, ibni

  7. R.A Nyai Bekel Karangkobar Banjarnegara, ibni

  8. R.A Nyai Segati / Pangeran Bayat, Tegalsari Garung Wonosobo, ibni

  9. Sunan Kudus, ibni

  10. Syarifah ( istri Sunan Ngudung ), ibni

  11. Sunan Ampel, ibni

  12. Maulana Malik Ibrahim, ibni

  13. Syekh Jumadil Kubro, Pondok Dukuh Semarang, ibni

  14. Ahmad Syah Jalal ( Jalaluddin Khan ), ibni
  15. Abdullah ( al - Azhamat ) Khan, ibni
  16. Abdul Malik ( Ahmad Khan ), ibni
  17. Alwi Ammi al - Faqih , ibni
  18. Muhammad Shahib Mirbath, ibni
  19. Ali Khali' Qasam, ibni
  20. Alwi ats - Tsani, ibni
  21. Muhammad Sahibus Saumiah, ibni
  22. Alwi Awwal, ibni
  23. Ubaidullah, ibni
  24. Ahmad al - Muhajir, ibni
  25. Isa ar - Rummi, ibni
  26. Muhammad al - Naqib, ibni
  27. Ali al - Uraidhi, ibni
  28. Ja'far ash - Shadiq, ibni
  29. Muhammad al - Baqir, ibni
  30. Ali Zainal Abidin, ibni
  31. Husein, ibni
  32. Sayyidatina Fatimah, Ra, ibni
  33. Rosulullah Muhammad S. A. W

Kisah Masa Muda Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban, Bulus Purworejo

Saat muda, Beliau pergi menuntut ilmu ke Pekalongan. Beliau mengaji pada ulama besar di sana sampai beberapa lama, kemudian meneruskan menuntut ilmu di Mekah dalam waktu yang cukup lama pula hingga Beliau menjadi seorang ulama besar. Di Mekah Sayyid Ahmad Muhammad Alim mempelajari Tarekat Satariyah. Sepulang dari Mekah, Beliau kemudian menetap di kampung Krapyak, kota Pekalongan bagian utara, menggantikan gurunya sampai beliau menikah dan mempunyai keturunan di sana.

Keturunannya hingga sekarang banyak yang disebut Basaiban seperti : Sayyid / Habib Abu Tholib, Sayyid / Habib Toha dan lain – lain. Ada juga keturunan Beliau yang menjadi Bupati Magelang yakni R. Tumenggung Danu Sugondo, dimana adiknya juga menjadi bupati Purworejo yakni R. Tumenggung Chasan Danuningrat.

Atas permintaan para murid yang berasal dari Wonosobo, Beliau kemudian pindah ke Wonosobo. Pertama kali bermukim adalah di desa Cekelan kecamatan Kepil. Di sana beliau mendirikan pondok pesantren dan masjid yang hingga sekarang masih ada dan berkembang pesat. Pembuatannya dibantu olehbesan Beliau yang bernama R. Tumenggung Bawad ( pensiunan ) pembesar dari Kraton Yogyakarta yang bernama Wiradhaha / ayah Kyai Tolabudin ( makam di Blimbing Bruno Purworejo ) dibantu juga oleh Kyai Karangmalang ( ayah Kyai Imam Puro ) yang telah mengangkat saudara. Dikisahkan mereka membawa pohon Aren dan Pohon jambe / Pinang. Dari desa Cekelan, Beliau kemudian pindah ke desa Gunung Tawang, kecamatan Selomerto Wonosobo . Di sana pun Sayyid Ahmad Muhammad Alim mendirikan pondok dan masjid.

Setelah bermukim di desa Gunung Tawang, beliau pindah ke arah utara, sampai di dekat dukuh Kendal Mangkang, petilasan Kyai Ageng Gribig dari Klaten Surakarta sewaktu membuat pertahanan saat memerangi Belanda di Batavia ( Jakarta ). Dari tempat tersebut, beliau pindah ke arah timur sampai di Candiroto, akan tetapi tidak dikisahkan hal pendirian masjid dan pondok di sana. Perpindahan selanjutnya adalah di desa Traji, yang berada di sebelah utara Parakan Temanggung, dekat desa Mandensari. Di sana didirikan pula pondok yang sampai sekarang masih ada. Dari desa Traji, Sayyid Ahmad Muhammad Alim bermukim sebentar di desa Bulu, Salaman Magelang. Di sana didirikan pula pondok dengan dibantu oleh Kyai Muhyi Bulu. Pesantren tersebut hingga sekarang pun masih. Rute perpindahan selanjutnya adalah di desa Paguan Kaliboto Purworejo, dan seperti yang sudah – sudah, di sana pun didirikan pondok yang hingga kini pesantren itu masih. Dari Kaliboto, atas permintaan salah seorang murid setianya yakni seorang mantri polisi Beliau pindah ke Pancalan dan mendirikan pesantren sehingga daerah itu menjadi aman. Pondok pesantren tersebut hingga sekarang masih, kemudian Beliau pindah ke desa Nglegok Baledono Purworejo, mendiami bekas pondok Kyai Asnawi ( R. Tumenggung Djoyomenduro, putra kyai Syamsyiah Pengulu Landrat/ Ketua Pengadilan Negeri jaman kejawen yang makamnya terletak di Pangenjurutengah ). Kyai Asnawi mempunyai banyak pondok pesantren.

Dari Baledono, Sayyid Ahmad Muhammad Alim pindah ke Kali Kepuh Beji. Masjid digotong oleh para santri yang jumlahnya sangat banyak. Perpindahan ke Kali Kepuh beji pada awalnya atas perintah Bupati Purworejo yang pertama pada jaman Belanda yang bernama Raden Mas Cokrojoyo, dikarenakan ketakutan Belanda akan adanya penyerangan sewaktu – waktu yang akan dilakukan oleh Sayyid Ahmad Muhammad Alim dan para santrinya. Begitu juga dengan perpindahan Beliau ke Bulus yang merupakan perintah dari Bupati, yang tujuan sebenarnya adalah agar Sayyid Ahmad Muhammad Alim mati dimangsa Brekasakan Hutan ( sejenis hewan dan mahluk halus ), lelembut, harimau, celeng / babi hutan dan warak ( sejenis badak ), sebab di sana terdapat sebuah beji ( semacam mata air ) yang di dalamnya terdapat sepasang bulus ( sejenis kura – kura ) berwarna putih yang merupakan mahluk halus. Maka daerah Bulus saat itu terkenal dengan sebutan Jalma Mara Jalma Mati yang artinya manusia mendekat, manusia mati. Sayyid Ahmad Muhammad Alim tetap selamat dan bahkan kemudian tempat tersebut menjadi desa yang makmur dan pesantrennya berkembang pesat hingga menyebar menjadi cikal bakal lahirnya pesantren – pesantren yang ada di Purworejo dan sekitarnya. Bulus yang tadinya hutan yang sangat angker beliau ubah menjadi desa yang makmur bersama para muridnya yang berasal dari berbagai daerah antara lain dari Pekalongan, Semarang, Salatiga, Magelang dan lain – lain. Jumlah murid Beliau lebih dari seribu orang. Sayyid Ahmad Muhammad alim mengajarkan tarekat Satariyah. Setelah mengaji, para murid ada yang diperintahkan untuk bekerja membuka hutan, ada yang diperintahkan membuat tempat tinggal ada juga yang bekerja seperti biasanya. Murid – murid yang berasal dari Pekalongan bekerja membuat sinjang ( jarit / kain ), sehingga kemudian daerah Bulus pada waktu itu terkenal dengan sebutan daerah Bang – bangan sinjang ( penghasil jarit / kain ). Mereka yang berasal dari Banjarmasin bekerja membuat aneka perhiasan dari emas dan ada juga yang bekerja sebagai tukang jam.


Laku Spiritual Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo

Sayyid Ahmad Muhammad Alim sering malakukan tirakat puasa mutih, sering tidak makan. Beliau hanya makan sekali dalam sehari. Pakaian yang dikenakan berwarna putih, sering juga mengenakan pakaian berwarna gadung ( hijau ). Ikat pinggangnya terbuat dari pelepah pisang. Apabila mencuci, Sayyid Muhammad Alim menggunakan pace ( mengkudu ) matang sebagai sabunnya. Beliau tidak pernah merokok, melainkan ngganten ( mengunyah sirih ). Postur tubuhnya besar dan tinggi melebihi postur orang yang tinggi besar pada umumnya. Suaranya besar dan hati serta pikirannya legawa / bersahaja.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu melakukan sholat sunnah sehari semalam sebanyak 35 rokaat. Ketika Sholat Awabin sampai 20 rokaat. Sebelum tidur, seusai membaca wirid, beliau selalu bersahadat 3 kali, memohon ampun pada Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu memintakan dan mendoakan agar para keturunannya juga murid – muridnya bisa menjadi orang yang soleh. Beliau juga menjalankan tapa pendhem 40 hari 40 malam, seperti layaknya jenazah yang dikubur, hanya pada bagian atas tepat di bagian kepala diberi sebilah bambu sebagai jalan nafas saat di dalam kubur. Ditengah – tengah lubang tersebut diberi benang yang digunakan untuk isyarat bahwa Beliau masih hidup. Setiap sore benang ditarik yang menandakan bahwa Sayyid masih hidup di dalam kubur. Menurut riwayat, di dalam tapa pendhemnya, Sayyid Ahmad Muhammad Alim mendapatkan isyarat gaib seperti berikut.

Beliau diperintahkan untuk memilih salah satu dari 3 bendera. Bendera tersebut berwarna putih, hijau dan merah. Ada suara gaib yang kemudian memerintahkan untuk memeilih salah satu. Pilihen Kyai ( pilihlah Kyai ) ?. Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim kemudian memilih bendera yang berwarna putih. Setelah memilih salah satu, kemudian suara gaib itu menerangkan sebagai berikut.

Bahwa putih tadi perlambang amal soleh: hijau perlambang materi keduniawian sedangkan merah perlambang dari kekuatan fisik.

Sehingga amanah Beliau untuk semua anak turunnya seperti berikut.

“ Anak turunku ora usah tirakat, asal gelem mantep anggone ngaji, bakal diparingi dadi wong mulya dunya tekan akherat.” ( anak turunku tidak perlu tirakat, asal mantap mengaji akan menjadi orang mulya dunia dan akherat ).

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Ahli Nahwu, Fiqih dan Tafsir. Tiap malam sering dijaga oleh harimau singga 5 ekor. Sering juga dijaga oleh Warak ( sejenis badak ). sehingga rumah dan tanaman Beliau menjadi aman. Di mana tempat yang dianggap angker oleh masyarakat umum, apabila telah ditempati oleh Beliau menjadi aman.Orang yang jahat sekali pun apabila telah bertemu dengan beliau, maka akan menjadi orang soleh. Maka banyak yang menjadi pengikut kemana pun Beliau pindah karena tidak bisa berpisah dengan Sayyid Ahmad Muhammad Alim.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim sering juga menghilang, terutama malam Jumat, akan tetapi di dalam masjid terdengar ada suara bergema jamaah dzikir Satariyah, yang dijaga pula oleh brekasakan hutan.

Setengah riwayat diceritakan bahwa suara dzikir tersebut hingga sekarang masih terdengar saat malam Jumat di makam Beliau. Ada yang bisa melihat, berujud haji sejumlah 40 orang yang rupawan. Untuk melihatnya harus dengan menjalankan sholat sunah dan membaca surat Yaasin terlebih dahulu.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu menyiarkan Islam, hingga menyebar di seluruh Purworejo hingga adanya pesantren di Loning, Pancalan, Tirip, Maron dan lainnya.

Tarekat Satariyah setelah Sayyid Ahmad Muhammad Alim wafat diteruskan oleh Kyai Guru Loning Mukhidinirofingi dan Kyai Muhammad Alim Maron. Kyai Muhammad Alim Maron juga pernah ditangkap Belanda sebab menjalankan tarekat Satariyah, karena dicurigai akan seperti Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim mempunyai badal 2 orang yakni :

  1. Ngumar

  2. Haji Toha

Akan tetapi setelah wafatnya Sayyid Ahmad Muhammad Alim, Haji Toha kemudian pergi ke Kelang Singapura, dan mungkin mengajarkan Tarekat Satariyah di sana. Para murid juga banyak yang pulang keasalnya masing – masing setelah Beliau wafat, sehingga Bulus pada waktu itu kosong hingga 3 tahunan.

Atas pertolongan Yang Maha Kuasa, ada seorang yang bernama Raden Mas Cokrojoyo ( bupati Purworejo yang pertama ) memerintahkan kepada Ulama yang bertempat tinggal di kampung Madiyokusuman Purworejo bernama R. Syarif Ali untuk menempati daerah Bulus. Keturunannya hingga saat ini masih. Tanah pesantren kemudian diwakafkan kepada yang memimpin di situ untuk meneruskan.


Masa Perjuangan

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus berjiwa pejuang. Pada waktu Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram memerangi Belanda di Batavia ( Jakarta ), yang memberangkatkan Kyai Ageng Gribig Klaten Surakarta, Kyai Sayyid Muhammad Alim menyerahkan para murid pemudanya untuk dijadikan prajurit, yang dipimpin oleh Kyai Ageng Gribig.

Jaman Pangeran Diponegoro ( R.M. Ontowiryo ), Beliau juga dengan sangat halus tanpa diketahui Belanda menyerahkan para santri mudanya untuk dijadikan prajurit. Agar tidak diketahui Belanda, maka Beliau berpindah – pindah tempat. Murid – murid diserahkan pada pertahanan Magelang dan Bagelen, yang dipimpin oleh R. Tumenggung Djoyomustopo yang makamnya di Sindurejan., juga pada R. Syamsyiah ( Pengulu Landrat Pangenjurutengah ).

Riwayat Setelah Perang Berhenti

Sayyid Ahmad Ahmad Muhammad Alim Basaiban masih meneruskan perjuangannya. Setelah Belanda menguasai negara ini hukum yang berlaku adalah sebagai berikut.

  1. Orang yang ditangkap kemudian dihukum dengan disalib dan dijemur di terik matahari, kemudian dicor timah panas hingga mati (seperti yang terjadi di Kedung Lo, sebelah barat Tanggung Purworejo)

    Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban kemudian mengajukan tuntutan agar hukuman itu diubah. Tuntutan tersebut diterima Belanda. Hukuman kemudian berubah menjadi

  2. Hukuman Picis di Bong Cina

    Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban kemudian kembali mengajukan tuntutan agar hukuman itu diubah. Tuntutan tersebut diterima Belanda. Hukuman kemudian berubah menjadi

  3. Hukuman Gantung

Semua tuntutannya dibantu oleh Kyai Guru Loning Mukhidinirofingi. Apabila akan mengajukan tuntutan, Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu mengunyah sirih terlebih dahulu, kemudian berpakaian putih atau hijau, kemudian ditandu sebab usianya yang sangat tua. Belanda menganggap Beliau sebagai Pimpinan Pengadilan.

Diceritakan bahwa Kyai Sayyid Muhammad Alim berpindah – pindah hingga28 tempat. Usia Beliau mencapai 280 tahun. Sayyid Ahmad Muhammad Alim wafat pada hari Jumat Pahing tanggal 1 Jumadilakhir tahun B 1262 Hijriyah/1842 Masehi. Beliau dimakamkan di sebelah barat pengimaman masjid Bulus.

Peringatan Haul Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus dilakukan rutin setiap tahun di Bulus Purworejo oleh seluruh anak turunnya.

(kutipan dari saudara rafi ananda, sayyidmuhammadraffie.blogspot.com)

Syaikh Dalhar

Kelahiran & Nasabnya
1_873996191mMbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.

Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.

Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.

Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.

Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.

Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.

Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.

Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.

Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.

Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :

  • Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
  • Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
  • Dll

Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.

Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.

Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Rabu, 11 November 2009

Syikh Muhamad Abul Malik bin Ilyas


Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah,
Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.