Kamis, 12 November 2009

AL A'LAMAH AL HABIB ALI BIN MUHAMMAD AL HABSYI



Beliau adalah seorang ulama penyusun SIMTUD DUROR , yang mana isi kitab tersebut berupa manaqib tentang rosululloh SAW. SIMTUD DUROR selalu di baca oleh para jamaah majlis-majlis taklim dan pada peringatan maulid nabi SAW.Beliau dilahirkan di HADROH MAUT tepatnya di qosam pada hari jumat 24 syawal 1259H.Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.

Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.

Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.

Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya - di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.

Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.

Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.

Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.

Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).

Konon menurut cerita diwajah beliau tepatnya dibawah mata ada garis hitam, garis hitam tersebut adalah bekas linangan air mata yang selalu mengalir saat di mengenang dan mengingat baginda rosululloh SAW, karena rasa sangat cintanya kepada Rosululloh SAW beliau menyusun kitab SIMTUD DUROR dengan air mata darah…kerinduan yang begitu memuncak…YA alloh jadikan hamba-hambamu pecinta rosululloh ..agar bisa memperoleh syafaat dari Rosululloh SAW..amin

Dipetik dari: Untaian Mutiara - Terjemahan Simtud Duror oleh Hb Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi

Silsilah Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo

Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo dilahirkan di Afdeling Ledok (Wonosobo) pada tahun 1562 M. Menurut riwayat, beliau adalah keturunan ke 32 dari Baginda Rosulullah Muhammad saw.

Silsilah selengkapnya adalah sebagai berikut.

  1. Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban, ibni

  2. R. Singosuto, Mojotengah Garung Wonosobo, ibni

  3. R. Alim Marsitojoyo, ibni

  4. R. Martogati, Wonokromo Garung Wonosobo, ibni

  5. R. Dalem Agung / RA. Nyai Dalem Agung , Mojotengah Garung Wonosobo, ibni

  6. R.A Nyai / R. Kyai Dilem Bandok Wonokromo Garung Wonosobo, ibni

  7. R.A Nyai Bekel Karangkobar Banjarnegara, ibni

  8. R.A Nyai Segati / Pangeran Bayat, Tegalsari Garung Wonosobo, ibni

  9. Sunan Kudus, ibni

  10. Syarifah ( istri Sunan Ngudung ), ibni

  11. Sunan Ampel, ibni

  12. Maulana Malik Ibrahim, ibni

  13. Syekh Jumadil Kubro, Pondok Dukuh Semarang, ibni

  14. Ahmad Syah Jalal ( Jalaluddin Khan ), ibni
  15. Abdullah ( al - Azhamat ) Khan, ibni
  16. Abdul Malik ( Ahmad Khan ), ibni
  17. Alwi Ammi al - Faqih , ibni
  18. Muhammad Shahib Mirbath, ibni
  19. Ali Khali' Qasam, ibni
  20. Alwi ats - Tsani, ibni
  21. Muhammad Sahibus Saumiah, ibni
  22. Alwi Awwal, ibni
  23. Ubaidullah, ibni
  24. Ahmad al - Muhajir, ibni
  25. Isa ar - Rummi, ibni
  26. Muhammad al - Naqib, ibni
  27. Ali al - Uraidhi, ibni
  28. Ja'far ash - Shadiq, ibni
  29. Muhammad al - Baqir, ibni
  30. Ali Zainal Abidin, ibni
  31. Husein, ibni
  32. Sayyidatina Fatimah, Ra, ibni
  33. Rosulullah Muhammad S. A. W

Kisah Masa Muda Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban, Bulus Purworejo

Saat muda, Beliau pergi menuntut ilmu ke Pekalongan. Beliau mengaji pada ulama besar di sana sampai beberapa lama, kemudian meneruskan menuntut ilmu di Mekah dalam waktu yang cukup lama pula hingga Beliau menjadi seorang ulama besar. Di Mekah Sayyid Ahmad Muhammad Alim mempelajari Tarekat Satariyah. Sepulang dari Mekah, Beliau kemudian menetap di kampung Krapyak, kota Pekalongan bagian utara, menggantikan gurunya sampai beliau menikah dan mempunyai keturunan di sana.

Keturunannya hingga sekarang banyak yang disebut Basaiban seperti : Sayyid / Habib Abu Tholib, Sayyid / Habib Toha dan lain – lain. Ada juga keturunan Beliau yang menjadi Bupati Magelang yakni R. Tumenggung Danu Sugondo, dimana adiknya juga menjadi bupati Purworejo yakni R. Tumenggung Chasan Danuningrat.

Atas permintaan para murid yang berasal dari Wonosobo, Beliau kemudian pindah ke Wonosobo. Pertama kali bermukim adalah di desa Cekelan kecamatan Kepil. Di sana beliau mendirikan pondok pesantren dan masjid yang hingga sekarang masih ada dan berkembang pesat. Pembuatannya dibantu olehbesan Beliau yang bernama R. Tumenggung Bawad ( pensiunan ) pembesar dari Kraton Yogyakarta yang bernama Wiradhaha / ayah Kyai Tolabudin ( makam di Blimbing Bruno Purworejo ) dibantu juga oleh Kyai Karangmalang ( ayah Kyai Imam Puro ) yang telah mengangkat saudara. Dikisahkan mereka membawa pohon Aren dan Pohon jambe / Pinang. Dari desa Cekelan, Beliau kemudian pindah ke desa Gunung Tawang, kecamatan Selomerto Wonosobo . Di sana pun Sayyid Ahmad Muhammad Alim mendirikan pondok dan masjid.

Setelah bermukim di desa Gunung Tawang, beliau pindah ke arah utara, sampai di dekat dukuh Kendal Mangkang, petilasan Kyai Ageng Gribig dari Klaten Surakarta sewaktu membuat pertahanan saat memerangi Belanda di Batavia ( Jakarta ). Dari tempat tersebut, beliau pindah ke arah timur sampai di Candiroto, akan tetapi tidak dikisahkan hal pendirian masjid dan pondok di sana. Perpindahan selanjutnya adalah di desa Traji, yang berada di sebelah utara Parakan Temanggung, dekat desa Mandensari. Di sana didirikan pula pondok yang sampai sekarang masih ada. Dari desa Traji, Sayyid Ahmad Muhammad Alim bermukim sebentar di desa Bulu, Salaman Magelang. Di sana didirikan pula pondok dengan dibantu oleh Kyai Muhyi Bulu. Pesantren tersebut hingga sekarang pun masih. Rute perpindahan selanjutnya adalah di desa Paguan Kaliboto Purworejo, dan seperti yang sudah – sudah, di sana pun didirikan pondok yang hingga kini pesantren itu masih. Dari Kaliboto, atas permintaan salah seorang murid setianya yakni seorang mantri polisi Beliau pindah ke Pancalan dan mendirikan pesantren sehingga daerah itu menjadi aman. Pondok pesantren tersebut hingga sekarang masih, kemudian Beliau pindah ke desa Nglegok Baledono Purworejo, mendiami bekas pondok Kyai Asnawi ( R. Tumenggung Djoyomenduro, putra kyai Syamsyiah Pengulu Landrat/ Ketua Pengadilan Negeri jaman kejawen yang makamnya terletak di Pangenjurutengah ). Kyai Asnawi mempunyai banyak pondok pesantren.

Dari Baledono, Sayyid Ahmad Muhammad Alim pindah ke Kali Kepuh Beji. Masjid digotong oleh para santri yang jumlahnya sangat banyak. Perpindahan ke Kali Kepuh beji pada awalnya atas perintah Bupati Purworejo yang pertama pada jaman Belanda yang bernama Raden Mas Cokrojoyo, dikarenakan ketakutan Belanda akan adanya penyerangan sewaktu – waktu yang akan dilakukan oleh Sayyid Ahmad Muhammad Alim dan para santrinya. Begitu juga dengan perpindahan Beliau ke Bulus yang merupakan perintah dari Bupati, yang tujuan sebenarnya adalah agar Sayyid Ahmad Muhammad Alim mati dimangsa Brekasakan Hutan ( sejenis hewan dan mahluk halus ), lelembut, harimau, celeng / babi hutan dan warak ( sejenis badak ), sebab di sana terdapat sebuah beji ( semacam mata air ) yang di dalamnya terdapat sepasang bulus ( sejenis kura – kura ) berwarna putih yang merupakan mahluk halus. Maka daerah Bulus saat itu terkenal dengan sebutan Jalma Mara Jalma Mati yang artinya manusia mendekat, manusia mati. Sayyid Ahmad Muhammad Alim tetap selamat dan bahkan kemudian tempat tersebut menjadi desa yang makmur dan pesantrennya berkembang pesat hingga menyebar menjadi cikal bakal lahirnya pesantren – pesantren yang ada di Purworejo dan sekitarnya. Bulus yang tadinya hutan yang sangat angker beliau ubah menjadi desa yang makmur bersama para muridnya yang berasal dari berbagai daerah antara lain dari Pekalongan, Semarang, Salatiga, Magelang dan lain – lain. Jumlah murid Beliau lebih dari seribu orang. Sayyid Ahmad Muhammad alim mengajarkan tarekat Satariyah. Setelah mengaji, para murid ada yang diperintahkan untuk bekerja membuka hutan, ada yang diperintahkan membuat tempat tinggal ada juga yang bekerja seperti biasanya. Murid – murid yang berasal dari Pekalongan bekerja membuat sinjang ( jarit / kain ), sehingga kemudian daerah Bulus pada waktu itu terkenal dengan sebutan daerah Bang – bangan sinjang ( penghasil jarit / kain ). Mereka yang berasal dari Banjarmasin bekerja membuat aneka perhiasan dari emas dan ada juga yang bekerja sebagai tukang jam.


Laku Spiritual Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus Purworejo

Sayyid Ahmad Muhammad Alim sering malakukan tirakat puasa mutih, sering tidak makan. Beliau hanya makan sekali dalam sehari. Pakaian yang dikenakan berwarna putih, sering juga mengenakan pakaian berwarna gadung ( hijau ). Ikat pinggangnya terbuat dari pelepah pisang. Apabila mencuci, Sayyid Muhammad Alim menggunakan pace ( mengkudu ) matang sebagai sabunnya. Beliau tidak pernah merokok, melainkan ngganten ( mengunyah sirih ). Postur tubuhnya besar dan tinggi melebihi postur orang yang tinggi besar pada umumnya. Suaranya besar dan hati serta pikirannya legawa / bersahaja.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu melakukan sholat sunnah sehari semalam sebanyak 35 rokaat. Ketika Sholat Awabin sampai 20 rokaat. Sebelum tidur, seusai membaca wirid, beliau selalu bersahadat 3 kali, memohon ampun pada Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu memintakan dan mendoakan agar para keturunannya juga murid – muridnya bisa menjadi orang yang soleh. Beliau juga menjalankan tapa pendhem 40 hari 40 malam, seperti layaknya jenazah yang dikubur, hanya pada bagian atas tepat di bagian kepala diberi sebilah bambu sebagai jalan nafas saat di dalam kubur. Ditengah – tengah lubang tersebut diberi benang yang digunakan untuk isyarat bahwa Beliau masih hidup. Setiap sore benang ditarik yang menandakan bahwa Sayyid masih hidup di dalam kubur. Menurut riwayat, di dalam tapa pendhemnya, Sayyid Ahmad Muhammad Alim mendapatkan isyarat gaib seperti berikut.

Beliau diperintahkan untuk memilih salah satu dari 3 bendera. Bendera tersebut berwarna putih, hijau dan merah. Ada suara gaib yang kemudian memerintahkan untuk memeilih salah satu. Pilihen Kyai ( pilihlah Kyai ) ?. Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim kemudian memilih bendera yang berwarna putih. Setelah memilih salah satu, kemudian suara gaib itu menerangkan sebagai berikut.

Bahwa putih tadi perlambang amal soleh: hijau perlambang materi keduniawian sedangkan merah perlambang dari kekuatan fisik.

Sehingga amanah Beliau untuk semua anak turunnya seperti berikut.

“ Anak turunku ora usah tirakat, asal gelem mantep anggone ngaji, bakal diparingi dadi wong mulya dunya tekan akherat.” ( anak turunku tidak perlu tirakat, asal mantap mengaji akan menjadi orang mulya dunia dan akherat ).

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Ahli Nahwu, Fiqih dan Tafsir. Tiap malam sering dijaga oleh harimau singga 5 ekor. Sering juga dijaga oleh Warak ( sejenis badak ). sehingga rumah dan tanaman Beliau menjadi aman. Di mana tempat yang dianggap angker oleh masyarakat umum, apabila telah ditempati oleh Beliau menjadi aman.Orang yang jahat sekali pun apabila telah bertemu dengan beliau, maka akan menjadi orang soleh. Maka banyak yang menjadi pengikut kemana pun Beliau pindah karena tidak bisa berpisah dengan Sayyid Ahmad Muhammad Alim.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim sering juga menghilang, terutama malam Jumat, akan tetapi di dalam masjid terdengar ada suara bergema jamaah dzikir Satariyah, yang dijaga pula oleh brekasakan hutan.

Setengah riwayat diceritakan bahwa suara dzikir tersebut hingga sekarang masih terdengar saat malam Jumat di makam Beliau. Ada yang bisa melihat, berujud haji sejumlah 40 orang yang rupawan. Untuk melihatnya harus dengan menjalankan sholat sunah dan membaca surat Yaasin terlebih dahulu.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu menyiarkan Islam, hingga menyebar di seluruh Purworejo hingga adanya pesantren di Loning, Pancalan, Tirip, Maron dan lainnya.

Tarekat Satariyah setelah Sayyid Ahmad Muhammad Alim wafat diteruskan oleh Kyai Guru Loning Mukhidinirofingi dan Kyai Muhammad Alim Maron. Kyai Muhammad Alim Maron juga pernah ditangkap Belanda sebab menjalankan tarekat Satariyah, karena dicurigai akan seperti Kyai Sayyid Ahmad Muhammad Alim.

Sayyid Ahmad Muhammad Alim mempunyai badal 2 orang yakni :

  1. Ngumar

  2. Haji Toha

Akan tetapi setelah wafatnya Sayyid Ahmad Muhammad Alim, Haji Toha kemudian pergi ke Kelang Singapura, dan mungkin mengajarkan Tarekat Satariyah di sana. Para murid juga banyak yang pulang keasalnya masing – masing setelah Beliau wafat, sehingga Bulus pada waktu itu kosong hingga 3 tahunan.

Atas pertolongan Yang Maha Kuasa, ada seorang yang bernama Raden Mas Cokrojoyo ( bupati Purworejo yang pertama ) memerintahkan kepada Ulama yang bertempat tinggal di kampung Madiyokusuman Purworejo bernama R. Syarif Ali untuk menempati daerah Bulus. Keturunannya hingga saat ini masih. Tanah pesantren kemudian diwakafkan kepada yang memimpin di situ untuk meneruskan.


Masa Perjuangan

Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus berjiwa pejuang. Pada waktu Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram memerangi Belanda di Batavia ( Jakarta ), yang memberangkatkan Kyai Ageng Gribig Klaten Surakarta, Kyai Sayyid Muhammad Alim menyerahkan para murid pemudanya untuk dijadikan prajurit, yang dipimpin oleh Kyai Ageng Gribig.

Jaman Pangeran Diponegoro ( R.M. Ontowiryo ), Beliau juga dengan sangat halus tanpa diketahui Belanda menyerahkan para santri mudanya untuk dijadikan prajurit. Agar tidak diketahui Belanda, maka Beliau berpindah – pindah tempat. Murid – murid diserahkan pada pertahanan Magelang dan Bagelen, yang dipimpin oleh R. Tumenggung Djoyomustopo yang makamnya di Sindurejan., juga pada R. Syamsyiah ( Pengulu Landrat Pangenjurutengah ).

Riwayat Setelah Perang Berhenti

Sayyid Ahmad Ahmad Muhammad Alim Basaiban masih meneruskan perjuangannya. Setelah Belanda menguasai negara ini hukum yang berlaku adalah sebagai berikut.

  1. Orang yang ditangkap kemudian dihukum dengan disalib dan dijemur di terik matahari, kemudian dicor timah panas hingga mati (seperti yang terjadi di Kedung Lo, sebelah barat Tanggung Purworejo)

    Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban kemudian mengajukan tuntutan agar hukuman itu diubah. Tuntutan tersebut diterima Belanda. Hukuman kemudian berubah menjadi

  2. Hukuman Picis di Bong Cina

    Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban kemudian kembali mengajukan tuntutan agar hukuman itu diubah. Tuntutan tersebut diterima Belanda. Hukuman kemudian berubah menjadi

  3. Hukuman Gantung

Semua tuntutannya dibantu oleh Kyai Guru Loning Mukhidinirofingi. Apabila akan mengajukan tuntutan, Sayyid Ahmad Muhammad Alim selalu mengunyah sirih terlebih dahulu, kemudian berpakaian putih atau hijau, kemudian ditandu sebab usianya yang sangat tua. Belanda menganggap Beliau sebagai Pimpinan Pengadilan.

Diceritakan bahwa Kyai Sayyid Muhammad Alim berpindah – pindah hingga28 tempat. Usia Beliau mencapai 280 tahun. Sayyid Ahmad Muhammad Alim wafat pada hari Jumat Pahing tanggal 1 Jumadilakhir tahun B 1262 Hijriyah/1842 Masehi. Beliau dimakamkan di sebelah barat pengimaman masjid Bulus.

Peringatan Haul Sayyid Ahmad Muhammad Alim Basaiban Bulus dilakukan rutin setiap tahun di Bulus Purworejo oleh seluruh anak turunnya.

(kutipan dari saudara rafi ananda, sayyidmuhammadraffie.blogspot.com)

Syaikh Dalhar

Kelahiran & Nasabnya
1_873996191mMbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.

Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.

Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.

Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.

Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.

Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.

Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.

Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.

Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.

Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :

  • Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
  • Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
  • Dll

Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.

Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.

Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Rabu, 11 November 2009

Syikh Muhamad Abul Malik bin Ilyas


Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah,
Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.

Abuya Dimyati, (banten)


Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.

Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi

K.H Imam Mudjani Bunyamin


K.H Imam Mudjani, demikian nama lengkapnya, lima puluh empat tehun silam, tepatnya 11 September 1951, sosok sumeh dan kharismatik ini dilahirkan. Beliau terlahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara. Tempat tinggalnya di Susukan, Cirebon. Dengan tekad dan kegigihannya bapak delapan anak ini tercatat sebagai pendiri pondok Pesantren Darussa’adah yang bertempat di Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Dibawah asuhan KH. Bunyamin dan Nyai Sa’adah, Imam Muzani kecil menikmati masa keceriaan dimasa belia penuh dengan pendidikan sebagai anak yang terlahir dikalangan orang alim. Beliau mendapat pendididkan yang lebih dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Kepada kakeknya; KH Abdul Syukur, yang merupakan murid Kyai Idris Jamsaren Solo, beliau benyak menimba ilmu-ilmu dasar-dasar keislaman, utamanya membaca Al Qur’an. Asuhan intensif kakeknya menjadikan Muzani kecil seorang sosok yang gandrung mengaji dan beribadah. Sehingga diusianya yang masih belia sudah tampak terbukti kepintaran dan kemahirannya dalam masalah agama dan memiliki akhlak mulia, sopan santun yang sempurna dibandingkan dengan teman sebayanya.
Kecintaan akan mengaji yang terbentuk sejak dini, mulai menemukan kematangannya manakala beliau didididk oleh orang tuanya sendiri; KH. Bunyamin setelah tamat Sekolah Rakyat (SR); setingkat SD, pada tahun 1963. beliau tidak melanjutkan pendidikan formal kejenjang berikutnya, karena pada waktu mengikuti ujian pendaftaran yang seharusnya dilakukan dua kali, beliau hanya bisa mengikuti sekali. Akhirnya beliaupun memutuskan untuk memilih terjun dan mendalami ilmu bidang keagamaan. Mulai dari sinilah
KH. Imam Muzani memfokuskan diri dan menekuni dalam bidang ilmu keagamaan. Hari-harinya diisi dengan mengkaji kitab-kitab kuning dan hafalan. Ketekunan, keprihatinan dan kedisiplinannya selalu mendapatkan pengawasan khusus dari ayahnya. Maka tidak aneh jika dalam usia yang sangat muda KH. Imam Muzani mampu menghafal dan menguasai kitab Alfiyah (seribu bait) dengan baik dan sempurna. Menurutnya, didikan orang tua sangat membekas sampai sekarang.
Merasa belum cukcup dengan apa yang ia miliki, maka pada tahun 1968 KH. Muzani memperluas cakrawala ilmu agama dengan berkelana keberbagai Pondok pesantren, seperti Lirboyo (Jatim), menjadi tujuan pertama dalam memperluas ilmunya. Selama kurang lebih dua tahun di Lirboyo kemudian melanjutkan ke Ploso selama empatbelas bulan. Dalam tujuan pencarian ilmunya beliau kemudian meneruskan ke Pesantren Lirap, Petanahan, Kebumen yang saat itu di asuh oleh KH Durmuji Ibrohim. Setelah selesai, beliau meneruskan untuk bertabaruk pada Kyai Qulyubi di Solo dan Kyai Chumeidi di Kaliwungu. Tahun 1974 beliau pindah kepesantren Cidanu, Radasari, Padegelang, Banten yang saat itu diasuh oleh Syekh Dimyati. Juli 1975 beliau didawuhi oleh gurunya (Syekh Dimyati) untuk mencari kitab Al Umm( karangan Imam Syafi’I). Dua puluh eksemplar dari kitab Al Umm beliau dapatkan. Belum sempat dikajinya, KH. Durmuji Ibrohim, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum lirap datang menemui Syekh Dimyati tentang keinginannya mengambil Imam Muzani sebagai menantunya. Setelah mendapat persetujuan dari ayahnya, KH Imam Muzani mendengar kabar baik itu. Tanpa basa basi, Syekh Dimyati menyuruh KH. Imam Muzani untuk segera menikah. Menanggapi keputusan gurunya, beliau sempat protes akan masalah kitab Al Umm yang akan dipelajarinya. Berkat kebijaksanaan gurunya yang tetap memojokkan dengan berkata “wis kitab Al Umm-e diganti bojo wae“, akhirnya beliaupun mengikuti dawuhnya. Tepat bulan Agustus 1975, beliau resmi menikah dengan putri KH. Durmuji Ibrahim sekaligus menetap dikediaman mertuanya (di Pon. Pes. Miftahul Ulum, Lirap).
setelah itu beliau meminta ijin kepada gurunya yang sekaligus mertuanya untukbertempat tinggal didaerah bulus, petanahan kemidian beliau mendirikan pondok pesantren yang semakin lama semaikin berkembang hingga sekarang. beliau adalah seorang tokoh besar, seorang ulama karismatik, beliau seorang da’I yang kalem. Beliau juga pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU kebumen dan ketua Dewan Syuro PKB di tahun 1999. pada tahun 2004 beliau seorang calon wakil Bupati dari PKB bersama Bapak Kusnanto. Beliau meninggal pada 9 September 2009 di Cirebon Jabar dan di makamkan di Pemakaman keluarga di Bulus Kritig Petanahan Kebumen. Semoga di terima di sisi Allah SWT. Amien. Beliau telah banyak meninggalkan kawruh kepada segenap santrinya semoga beliau selalu mendapat rahmat dan berkah ALLAH swt......annALLAHI yu'li darajatihim, fil jannati wa yanfa'una bibarakatihim wa asrarihim wa 'ulumihim fiddini waddunya wal akhirah..al-fatihah....

Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi


Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka; Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syeikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.

Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

[sunting] Gagasan-gagasan

Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.

Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.

Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab

[sunting] Karya

Semasa hidupnya, ia menulis 49 buku tentang masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke wilayah Syiria, Turki dan Mesir.

Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.

Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru', Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama'atain bi Jawazi Ta'addud al-Jum'atain.


KH. Abbas Djamil Buntet


KH. Abbas Djamil Buntet (1879 – 1946)
Memadukan Kitab Kuning dan Ilmu Kanuragan

Latar Belakang Keluarga
Kiai Abas adalah putra sulung KH. Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.

Pendidikan
Kiai Abbas pertama ia belajar pada ayahnya sendiri. KH. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon dibawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, ia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan, kemudian beliau meneruskan ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari. Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH. Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH. Abdul Manaf turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur.
Kemudian beliau melanjutkan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah di bawah asuhan Syaikh KH. Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim). Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukimin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH. Cholil Balerante, Palimanan, KH. Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.

Memimpin Pesantren Buntet
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet Warisan dari nenek moyangnya.
Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fakhrurrozi juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju.
Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal ke seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya.

Melawan Penjajah Belanda
Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu bela diri menjadi sebuah keharusan.
Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan.
Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda.

Dengan gerakan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.
Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung.
Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya belum datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut.

Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH. Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi. Tradisi pesantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yang lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya.

Berjuang Hingga Akhir Hayat
Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan. Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Mendengar hasil perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.
Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Akibatnya pada masa ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalangan NU maupun komunitas lainnya. Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan.

Bacalah perjuangan hidup para ulama pendahulu kita
Ambillah hikmah dan tauladan

K.H Syaitori Arjowinagun


KH. Syathori adalah gambaran pribadi yang sederhana dan bersahabat dengan siapa saja, terutama masyarakat kalangan bawah. Tanpa membedakan agama, etnis, bahasa dan jenis kelamin.

Arjawinangun sebagai daerah yang multi etnis menyimpan keharmonisan di dalamnya. Kondisi yang kondusif bagi keragaman ini tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi melalui proses belajar masyarakat sejak lama. Dan diantara faktor pembentuk kondisi ini adalah adanya tokoh-tokoh masyarakat yang mempeloporinya. Di antara tokoh yang melegenda dan juga menciptakan kondisi damai ini adalah KH. Syathori (w. 1969) KH. Syathori adalah pendiri Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, sejak th. 1930. Beliau adalah ulama dan sekaligus juga penggerak warga setempat. Kiprahnya dalam bidang agama dan sosial sangat dirasakan pada zamannya, sehingga masyarakat merasa kehilangan sepeninggalnya. Sebagai seorang ulama pesantren, KH. Syathori adalah gambaran pribadi yang sederhana dan bersahabat dengan siapa saja, terutama masyarakat kalangan bawah. Tanpa membedakan agama, etnis, bahasa dan jenis kelamin.

Kararater populis (merakyat) beliau tunjukkan dengan seringnya mengunjungi rumah-rumah warga setempat. Terutama setiap habis shalat Jum’at, setiap ada pintu rumah warga yang terbuka, beliau pun tanpa sungkan bertamu dan bersilaturrahmi. Untuk sekedar bercengkerama dan ngobrol -ngobrol ringan dengan warga. Apa yang dilakukannya memang terlihat sepele, namun dengan demikian beliau dapat merasakan langsung persoalan dan apa yang dirasakan masyarakat sekitarnya. Sehingga dakwah melalui jalur pesantren dan pendidikan Islam yang dilakukannya tidak salah sasaran. Dalam hubungan antar etnis dan agama yang berbeda, KH. Syathori bukan hanya menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, tetapi beliau juga aktif menciptakan hidup bersama secara damai. Ini ditunjukkan di antaranya ketika bulan puasa, di mana beliau memperbolehkan para Tionghoa, baik muslim maupun non-muslim untuk mengirim ta’jil (makanan buka puasa) kepada para santri dan muslim yang bebuka di masjid. KH. Syathori juga menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah tempat anak-anak Tionghoa dan non-muslim sekolah. Beliau membiarkan generasi penerusnya memahami keragaman sejak awal, tanpa harus khawatir anakanaknya terbawa atau terpengaruh agama lain.

Kerjasama dengan nonmuslim beliau lakukan juga dalam rangka membangun masyarakat secara bersama-sama. Karena ketulusannya dalam membangun kerjasama ini, ada tokoh Tionghoa setempat yang ahli dalam pengobatan, selalu menggunakan do’a-do’a yang berasal dari Al- Qur’an, meski dia bukan muslim. Ini dia lakukan, karena do’a-do’a tersebut diajarkan KH. Syathori terhadapnya. KH. Syathori tidak memaksanya untuk memeluk agama Islam, tetapi mengajarinya beberapa do’a penyembuhan. Dan nyatanya do’a itu ampuh untuk menyembuhkan, kata Hok, Cucu Sang tokoh Tionghoa yang ahli pengobatan tersebut.

Apa yang dilakukan KH. Syathori dalam menghargai dan mengusung keragaman, sedikit banyak berdampak pada kehidupan rukun dalam kebersamaan di masyarakat. Ini mengingat ketokohannya dalam bidang agama dan bermasyarakat. Sebagai tokoh agama, KH. Syathori adalah ulama cerdik pandai pada zamannya.

Selain karena darah ulama yang mengalir dalam dirinya, penguasaaanya dalam kajian kitabkitab kuning, dan sikap kebersahajaannya, membuat masyarakat dengan mudah ’jatuh hati’ terhadapnya. Dari silsilahnya, KH. Syathori adalah putra dari pasangan KH. Sanawi dan Ny. Hj. Arbiah. KH. Sanawi adalah seorang penghulu dan perintis pesantren Dar Al- Tauhid, dia adalah putra KH. Abdullah bin KH. Muhammad Salabi Lontang Jaya, seorang ulama dan pejuang penentang kolonialisme Belanda pada ’Perang Kedongdong’.

Sementara Ibundanya, Ny. Hj. Arbiah bin H. Abdul Aziz adalah masih keturunan Sultan Banten, Pangeran Sura Manggala yang memerintah th. 1808, yang diujung silsilahnya menunjukan bahwa ia masih keturunan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati). Legitimasi ’darah biru’ ini biasanya bagi kalangan bawah dan beberpa kalangan di masyarakat, cukup menjadi legitimasi ketokohan sesorang.

Selain itu, ketokohan KH. Syathori dikenal karena penguasaannya terhadap khazanah kitab kuning. Diceritakan bahwa gurunya KH. Hasyim Asy’ari pernah mengatakan bahwa, ”Arekarek Cirebon dan Indramayu yang ndak sempat ngaji marang aku, kono kae marang Syathori”. Atas himbauan kiai pendiri NU ini, pesantren dan ketokohan KH. Satori pun makin mendapat hati di masyarakat Arjawinangun, Cirebon dan sekitarnya.

Selain berkiprah di kalangan santri dan masyarakat bawah, KH. Syathori juga sosok yang aktif dalam organisasi tingkat nasional pada zamannya, di PBNU. Karena ketokohannya inilah dan karena perannya dalam membangun kerukunan umat di Arjawinangun, kerukunan antar etnis dan antar agama hidup subur di Arjawinangun.[]

Syaikh Yasin Al-fadani


Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani lahir di kota Mekah pada tahun 1915 dan wafat pada tahun 1990. beliau adalah ulama besar yang pernah sekolah di Madrasah Shaulatiyyah. Beliau adalah pencetus ide berdirinya Madrasah Darul-Ulũm sekaligus menjadi murid pertama madrasah itu.

Konon sebab tercetusnya ide membangun Madrasah tersebut disebabkan karena tindakan dan perlakuan direktur Madrasah Shaulatiyyah yang sangat menyinggung (hususnya) pelajar yang kebanyakan dari Asia Tenggara saat itu. Hal ini terbukti dengan berpindahnya 120 orang pelajar dari Shaulatiyyah ke Madrasah Darul-Ulum yang baru didirikan. Ini hampir tidak pernah dialami oleh Madrasah-madrasah yang baru dibuka mendapat murid yang begitu banyak sebagaimana Darul-Ulũm.
Dalam sebuah situs(1) dinyatakan bahwa pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orang Indonesia, guru dan murid ‘Jawah’ telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan madrasah Darul Ulum di Makkah.
Mengenai kesehari-harian beliau, dari cerita yang saya dengar dari ayah saya, yaitu Ustaz Sukarnawadi H. Husnuddu’at: “Syekh Yasin orangnya santai, sederhana, tidak menampakkan diri, sering muncul menggunakan kaos biasa, sarung, dan sering nongkrong di “Gahwaji” untuk Nyisyah (menghisap rokok arab)… tak seorangpun yang berani mencela beliau karena kekayaan ilmu yang beliau miliki… Yang ingkar kepada beliau hanyalah orang-orang yang lebih mengutamakan tampang zahir daripada yang bathin…
PUJIAN PARA ULAMA:

Syekh Zakaria Abdullah Bila teman dekat pendiri Nahdlatul Wathan yaitu Syekh M. Zainuddin pernah berkata, “waktu saya mengajar Qawa’idul-Fiqhi di Shaulatiyyah, seringkali mendapat kesulitan yang memaksa saya membolak balik kitab-kitab yang besar untuk memecahkan kesulitan tersebut. Namun setelah terbit kitab Al-Fawa’idul-Janiah karangan Syekh Yasin… menjadi mudahlah semua itu, dan ringanlah beban dalam mengajar.
Seorang ahli Hadits bernama Sayyid Abdul Aziz Al-Qumari pernah memuji dan menjuluki beliau sebagai kebanggaan Ulama Haramain dan sebagai Muhaddits.
Doctor Abdul Wahhab bin Abu Sulaiman (Dosen Dirasatul ‘Ulya Universitas Ummul Qura) di dalam kitab: الجواهر الثمينة في بيان أدلة عالم المدينة berkata: Syekh Yasin adalah Muhaddits, Faqih, Mudir Madrasah Darul-Ulum, pengarang banyak kitab dan salah satu Ulama Masjid Al-Haram…

Syekh Umar Abdul-Jabbar berkata didalam surat kabar Al-Bilad (jumat 24 Dzulqaidah 1379H/ 1960M): “…bahkan yang terbesar dari amal bakti Syekh Yasin adalah membuka madrasah putri pada tahun 1362H. Dimana dalam perjalanannya selalu ada rintangan, namun beliau dapat mengatasinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan…
Assayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal sebagai Mufti negeri Murawah Yaman saat itu, mengarang sebuah syiir yang panjang husus untuk memuji Syekh Yasin Al-Fadani Berikut saya nukilkan satu bait saja yang berbunyi:
أنت في العلم والمعاني فريد…… وبعقد الفخار أنت الوحيد
“Engkau tak ada taranya dalam ilmu dan hakekat, Dibangun orang kejayaan kaulah satu-satunya yang jaya”
Doctor Yusuf Abdurrazzaq sebagai dosen kuliah Ushuluddin Universitas Al-Azhar cairo juga memuji beliau dengan perkataan dan syiir yang panjang, saya nukilkan satu bait saja yang bunyinya:
أنت فينا بقية من كرام……لا ترى العين مثلهم إنسانا
“Engkau di tengah kami orang terpilih dari orang terhormat, tak pernah mata melihat manusia seumpama mereka.”
Ustaz Fadhal bin M. bin Iwadh Attarimi-pun berkata:
فيا طالب العلم لب نداء……ياسين وافرح بهذا القرى
“Wahai pencari ilmu sambutlah panggilan Yasin, bergembiralah dengan sajian yang ia sajikan,”
Doctor Ali Jum’ah yang menjabat sebagai Mufti Mesir dalam kitab Hasyiah Al-Imam Al-Baijuri Ala Jauharatittauhid yang ditahqiqnya, pada halaman 8 mengaku pernah menerima Ijazah Sanad Hadits Hasyiah tersebut dari Syekh Yasin yang digelarinya sebagai مسند الدنيا Musnid Addunia…
Al-Habib Assayyid Segaf bin Muhammad Assagaf seorang tokoh pendidik di Hadramaut (pada tahun 1373H) menceritakan kekaguman beliau terhadap Syekh Yasin, dan menjulukinya sabagai “Sayuthiyyu Zamanihi”. Beliau juga mengarang sebuah syiir untuk memuji beliau, berikut saya nukilkan dua bait saja yang bunyinya sebagai berikut:

لله درك يا ياسين من رجل……أم القرى أنت قاضيها ومفتيها

في كل فن وموضوع لقد كتبا ……يداك ما أثلج الألباب يحديها
“Bagus perbuatanmu hai Yasin engkau seorang tokoh,

dari Ummul Qura engkau Qhadi dan Muftinya.”

“Setiap pandan judul ilmu tertulis dengan dua tanganmu,

Alangkah sejuknya akal pikiran rasa terhibur olehnya.”
Assayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki sebagai guru Madrasah Al-Falah dan Masjid Al-Haram, Syekh M. Mamduh Al-Mishri dan Al-Habib Ali bin Syekh Balfaqih Siun Hadramaut dan Ulama lainnya, pernah memuji karangan-karangan beliau…
Doctor Yahya Al-Gautsani bercerita, pernah ia menghadiri majlis Syekh Yasin untuk mengkhatam Sunan Abu Daud. Ketika itu hadir pula Muhaddits Al-Magrib Syekh Sayyid Abdullah bin Asshiddiq Al-Gumari dan Syekh Abdussubhan Al-Barmawi dan Syekh Abdul-Fattah Rawah.

H.M.Abrar Dahlan berkata: “yang membuat beliau lepas dari sorotan publikasi ialah karena ia telah menjadi lambang Ulama Saudi yang “bukan Wahabi” yang tersisa di Makkah. Walaupun begitu ia diakui juga oleh ulama Wahabi sebagai Ulama yang bersih dan tidak pernah menyerang kaum Wahabi… Seorang tokoh agama Najid dari Ibukota Riyadh (Pusat Paham Wahabi) yaitu Jasim bin Sulaiman Addausari pada tahun 1406H pernah berkata:
أبلغوا مني سلاما من صبا نجد……ذكيالأبي الفيض فداني

مسند الوقت بعيد عن نزول……هابط أما لما يعلو فداني

فدى أسر الروايات فلوتنطق……لقالت: علم الدين فداني

KARYA TULIS & MURID-MURID BELIAU:

Jumlah karya beliau mencapai 97 Kitab, di antaranya 9 kitab tentang Ilmu Hadits, 25 kitab tentang Ilmu dan Ushul fiqih, 36 buku tentang ilmu Falak, dan sisanya tentang Ilmu-ilmu yang lain…
Di antara murid-murid yang pernah berguru dan mengambil Ijazah sanad-sanad Hadits dari beliau adalah Al-Habib Umar bin Muhammad (Yaman), Syekh M. Ali Asshabuni (Syam), Doctor M. Hasan Addimasyqi, Syekh Isma’il Zain Alyamani, Doctor Ali Jum’ah (Mesir), Syekh Hasan Qathirji, Tuan Guru H. M. Zaini Abdul-Ghani (Kalimantan) dll…

Dan di antara murid-murid beliau yang di samping mengambil Sanad Hadits, mendapatkan Ijazah ‘Ammah dan Khasshah, juga diberi izin untuk mengajar di Madrasah Darul-Ulum adalah: H. Sayyid Hamid Al-Kaff, Dr. Muslim Nasution, H.Ahmad Damanhuri, H.M.Yusuf Hasyim, H.M. Abrar Dahlan, Dr. Sayyid Aqil Husain Al Munawwar, Ayah saya sendiri yaitu Ustaz Sukarnawadi KH. Husnuddu’at dll…
Ayah saya pernah bercerita, seseorang bernama H.Abdul-Aziz asal Jeruwaru Lombok NTB pernah mendatangi Syekh Yasin untuk meminta bai’at, izin serta restu untuk menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyyah… ketika itu Syekh Yasin memberi satu syarat, yaitu, ayah saya harus turut dibai’at, karena ayah saya di samping menjadi Guru yang lama mengajar di Madrasah Darul-Ulum, (dari tahun 1978 sampai 1990) juga sebagai salah satu dari sekian murid yang selalu diberikan bimbingan dan perhatian khusus… maka yang mendapat izin dari beliau untuk menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyyah yang berasal dari Lombok saat itu hanyalah Ayah saya dan H.Abdul Aziz…
Ayah saya sebagai warga, bahkan tokoh NW (ketika pulang ke lombok) menceritakan hal itu kepada pendiri Nahdlatul Wathan, yaitu Syekh M. Zainuddin, dan beliaupun tidak mengingkari hal tersebut, bahkan beliau merestui, memberikan Ijazah dan doa yang khusus serta harapan agar di samping itu tetap berjuang membela NW…

KEKERAMATAN BELIAU:

Seseorang bernama Zakariyya Thalib asal Syiria pernah mendatangi rumah Syekh Yasin Pada hari jumat. Ketika Azan jumat dikumandangkan, Syekh Yasin masih saja di rumah, ahirnya Zakariyya keluar dan solat di masjid terdekat. Seusai solat jum’at, ia menemui seorang kawan, Zakariyyapun bercerita pada temannya bahwa Syekh Yasin ra. tidak solat Jum’at. Namun dibantah oleh temannya karena kata temannya, “kami sama-sama Syekh solat di Nuzhah, yaitu di Masjid Syekh Hasan Massyat ra. yang jaraknya jauh sekali dari rumah beliau”…
H.M.Abrar Dahlan bercerita, suatu hari Syekh Yasin pernah menyuruh saya membikin Syai (teh) dan Syesah (yang biasa diisap dengan tembakaudari buah-buahan/rokok teradisi bangsa arab). Setalah saya bikinkan dan syekh mulai meminum teh, saya keluar menuju Masjidil-Haram. Ketika kembali, saya melihat Syekh Yasin baru pulang mengajar dari Masjid Al-Haram dengan membawa beberapa kitab… saya menjadi heran, anehnya tadi di rumah menyuruh saya bikin teh, sekarang beliau baru pulang dari masjid.
Dikisahkan ketika K.H.Abdul Hamid di Jakarta sedang mengajar dalam ilmu fiqih “bab diyat”, beliau menemukan kesulitan dalam suatu hal sehingga pengajian terhenti karenanya… malam hari itu juga, beliau menerima sepucuk surat dari Syekh Yasin, ternyata isi surat itu adalah jawaban kesulitan yang dihadapinya. Iapun merasa heran, dari mana Syekh Yasin tahu…? Sedangkan K.H.Abdul Hamid sendiri tidak pernah menanyakan kepada siapapun tentang kesulitan ini..!

Ketika ayah saya tamat Darul-Uulum (Aliah), beliau dilarang oleh Syekh Yasin untuk melanjutkan studinya di Universitas manapun, ayah saya diperintahkan untuk mengabdi di Darul-Ulum. Sedangkan mata pelajaran yang pernah dipegang oleh ayah saya sejak tahun 1978 hingga 1990 adalah Hadits, Fiqih, Tauhid, Tarikh dan Geografi. Di samping itu Syekh Yasin pernah berdo’a untuk ayah saya agar menjadi seorang penulis… kekeramatan do’a beliau dapat dirasakan sendiri oleh ayah saya. Walaupun sibuk dalam pekerjaannya sebagai guru dan pegawai di kantor, namun beliau selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dan kini tulisan beliau sudah mencapai 24 judul. Yang sudah dicetak sampai saat ini baru 12 judul saja… Ayah saya berkata pada saya, “ini berkat do’a restu Syekh Yasin dan Syekh Zainuddin” Oleh karena itu Ayah saya berpesan agar kami di Mesir, juga mencari seorang guru yang benar-benar pewaris Nabi, agar mendapatkan barokah do’a restu serta barokah ilmunya…
H.Mukhtaruddin asal Palembang bercerita, pernah ketika pak Soeharto sedang sakit mata, beliau mengirim satu pesawat khusus untuk menjemput Syekh Yasin. Ahirnya pak Soehartopun sembuh berkat do’a beliau. Kisah ini selanjutnya didengar sendiri oleh ayah saya dari Syekh Yasin.
Semoga Allah swt. merahmati beliau, amin ya Rabbal-Alamin….

(kutipan dari nulibya, di www.nulibya.wordpress.com)

________________________________________________________